Ibu Bumi

Ibu Bumi

Semilir angin masih hinggap mesra di telingaku.
Halus.
Lembut.
Malam demi malam berlalu
dengan kidung anggun sang bayu
bak lantunan ayat-ayat suci
yang keluar dari mulut seorang ibu
yang menghantar doa bagi putranya
yang berlaga di medan perang,
menanti dan berharap segera pulang dengan selamat.
Udara tenang mendendangkan bait-bait puisi cinta
di setiap malamku.
Tenang rasanya.
Damai berteman udara
dalam telut sepi untaian rosario panjang.
Keinginan tak mau beranjak dari tempat duduknya
menikmati mimpi-mimpi indah
bersama senandung malam nan khidmat.

Sementara angan masih disandera mimpi-mimpi
tentang dendang cinta udara,
suasana malam kian mencekam.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan
memekakkan telinga dari sudut-sudut kota.
Banjir telah melanda negeriku.
Lumpur menggenang kampung-kampung saudaraku.
Kebakaran hutan menjadi headline di koran-koran.
Dicetak besar-besar.
Merah.
Garang dan terkesan kaku.
Dimanakah hidupku?
Tanyaku kian lirih di dasar hatiku,
menyendal-nyendal
seperti tangisan bayi merah
dalam pelukan ibunya
yang berdesakkan di atas bis kota
yang pengap.
Sesak oleh polusi udara.
Udara yang begitu sejuk
dan damai dalam mimpiku,
ternyata terlihat kejam dalam realitas alamku.

Pikiran-pikiran nakal mulai menyeruduk
masuk tanpa permisi ke dalam ruang kesadaranku.
Gayanya tak karuan
seperti bos besar datang melakukan sidak
pada para bawahannya.
Tidak sepenuhnya salah,
tetapi sikapnya kurang sopan
dan terkesan sombong.
Satu demi satu pikiran itu kukuliti
sampai dagingnya terlihat merah.
Saripatinya dapat dicecap
dan aroma khasnya tercium
oleh indra penalaranku
yang logis sebagaimana
layaknya seorang analis politik
mengendus berita dalam mass media,
membedahnya,
mencabik-cabik dengan ketajaman teori terbaru,
dan menyusunnya kembali
dalam rangkaian kata-kata tajam nan pedas
yang diperuntukkan bagi telinga politikus-politikus busuk
yang seenaknya berpangku tangan
makan beras rakyat
yang berpeluh darah.

Pikiran-pikiran itu memanggilku
dengan semena-mena tanpa menyebut namaku.
Mereka membangunkanku
dari mimpi-mimpi indah bersama udara.
Dan udara malam pun memaksaku
untuk terjaga dengan sapaannya yang semakin dingin.
Hadirnya terasa menusuki pori-pori kulitku
yang membuatku harus lebih realistis dalam melihat alamku.
Udara mimpiku telah tiada.
Malam-malam syahduku telah pergi
ditelan terik sang surya di ufuk Timur.
Pelan-pelan otakku bangkit
merenungi kesakitan yang diderita ibu bumiku.
Hatiku ikut melelehkan air mata
bersama dengan ibu bumiku
yang kian deras berteriak minta dikasihani.
Sedih.
Tersingkir.
Malang.
Terabaikan.
Tapi itulah realitas duniaku.
Desperate !

Tiba-tiba
satu pikiran terjerembab
masuk dalam alur analisaku.
Pikiran yang membawa bau anyir,
tak sedap,
menjijikkan
dan mau muntah rasanya.
Tahukah kau
bahwa ibu bumiku,
yang pastinya juga ibu bumimu,
sekarang sekarat
memangku bergunung-gunung sampah.
Menderita beraneka ragam penyakit.
Mual dan muntah di Sidoarjo.
Patah tulang belulangnya hingga gempa di Jogya.
Meronta kesakitan dalam tsunami di Aceh.
Terus bergelora dalam ukuran skala richter
di banyak tempat lainnya.
Enggan menerima lagi kiriman-kiriman air
dari rintik-rintik hujan.
Ibu bumi sedang sakit.
Tapi mengapa hanya sedikit orang mau menengoknya?
Aku ?
Kamu ?
Kita ?
Mereka ?
Mengapa aku hanya berdiri sebagai aku
dan begitu pun kamu menyendiri sebagai kamu ?
Ataukah aku yang hanya bermimpi
dan terus bermimpi tentang kita ?
Kita yang adalah anak-anak ibu bumi.
“Ibu ini anakmu. Anak ini ibumu.”
Tidak pernahkah kau dengar bunyi ayat itu ?
Saat Pencipta jagad raya ini berpeluh darah,
berteriak kesakitan,
bergumul dengan sakrat maut,
tetapi tetap peduli dengan apa pun
dan siapapun.
Ah,
aku masih terus bermimpi tentang ayat-ayat suci,
tentang udara yang damai,
yang mendendangkan bait-bait cinta,
tanpa melihat dimana udara itu sekarang berhembus.
Aku tahu bahwa
ia telah pergi.
Jauh tak terjangkau.
Tinggi tak tergapai.
Dalam tak terselami
dan hilang begitu saja
ditelan pekatnya asap hitam
yang keluar dari cerobong-cerobong pabrik.
Aku tak tahu harus berkata apa lagi
dan berdongeng apa lagi
untuk menghibur diriku ?
Meski air tubuhku masih tersisa,
tapi lembamnya sudah hilang.
Meski nalarku berjalan cepat,
tapi dayanya sudah tak punya orientasi pasti.
Meski anganku masih melanglang buana,
tapi dunia kian semu,
tak tersentuh
dan semakin jauh dari realitas derita ibu bumiku.

Andai mimpiku juga menjadi mimpimu.
Alangkah indahnya dunia ini.
Andai anganku juga menjadi anganmu.
Alangkah bahagianya duniaku.
Tapi semua ini hanya andaian,
dan mungkin terus akan menjadi andaian,
menjadi mimpi yang tak kunjung tiba,
menjadi dambaan semu di siang bolong,
seperti seorang bocah ingin menjadi pangeran
yang menjemput sang putri turun dari peraduannya.

Suatu masa,
entah kapan,
kuyakini yakiniku akan menjadi yakinimu,
meski hanya dalam dunia dongeng
bagi anak cucu kita,
menjadi bahan lelucon
bagi keturunan ibu bumi.
Karena mimpi tinggal sebagai mimpi
dalam kotak kecil di sudut ruangan
yang tak pernah tersentuh tangan-tangan mulia manusia.
Bayangkanlah derita ibu bumi
yang harus menanggung kebusukan sampah,
polusi sampai ke tulang sumsumnya,
masuk ke dalam nadi-nadinya
dan terkontaminasi oleh racun-racun mematikan
juga bagi bangsa keturunan ibu bumi.
Tidakkah kita ingat
betapa pengorbanan ibu bumi
merasakan kian meningkatnya suhu udara ?
Tidakkah kita rasakan
bagaimana ibu bumi bertahan
dengan bergunung-gunung sampah busuk penuh penyakit ?

Tak pelak
dongeng tetap tinggal sebagai dongeng.
Kisah mimpi berteman udara
yang selalu memberi kesegaran
dan kesejukan hati
yang masih terhenti dalam kalbu.
Gamang rasanya
bertemu realitas ibu bumi
yang mengerang kesakitan
dengan jerit tangis yang menyayat,
merobek hati
dan melumatkan sanubari.
Luluh lantak asa ini
dipermainkan oleh realitas
yang kian membabi buta.
Hancur batin ini
menyaksikan ibu bumi disakiti,
tapi semua jauh berseberangan dengan dunia mimpi.
Realitas ini nyata,
tetapi mimpiku ini juga ada.

Sejenak kutersungkur di buai malam,
ditemani kerik binatang malam
menggosok-gosokkan sayapnya.
Tenang menggenggam untaian tasbih
untuk melantunkan pinta demi pinta
di hadapan tahta kerahiman Illahi.
Wening malam ini.
Jernih air bertemu lembut udara senja
yang menyambut malam
dengan sesungging senyum.
Ibu bumi merangkul hangat
dan mulai mendongengkan
mimpi-mimpi indah harmoni alam
di taman Eden.
Harmoni yang tak lekang oleh masa.
Bahagia yang tak habis dimakan ngengat.
Ketenangan batin yang tak dapat dirampas siapapun.
Sekali lagi,
ini adalah dongeng ibu bumi
yang sedang merintih memohon belas kasihan.
Akhirnya kubelalakkan mataku
dan bergumam lirih :
« ibu bumi,
udara,
air,
engkau hadir antara ada dan tiada
dalam mimpi-mimpiku »
[laciudaddeclistenes.blogspot.com]
Jakarta, awal April 2008
airdara

0 Response to "Ibu Bumi"

Poems • ReflectionsStoriesCrumbsContact
free hit counters