“Quid est veritas?”
Malam ini, aku ingat katakatanya
yang saat itu meluncur deras dari bibir mungil
bak pita kirmizi,
penuh emosi,
ada sedikit kegeraman,
dan lara hati yang menyayat.
Sesaat membuatku tersentak,
membuatku berpikir,
dan masuk ke dalam loronglorong panjang
yang tak berujungpangkal,
membawa suatu stagnasi rasio,
memainkan nyanyian hati,
yang juga ikut menangkap lara hatinya yang menyayat,
kegeramannya yang sedikit meluap,
dan emosinya yang menggebu.
Apakah gerangan nama rasa ini?
Perlahan,
hati ini mengulang,
menyanyikan lagu bernada dasar D,
dengan guitar tua dalam anganangan,
mematikan rasa di ujung lidah,
dan menggelayut berteman sepi.
Bibir yang bergerakgerak pelan,
terpantul dalam dinding satu cangkir putih kecil,
dua botol beer Anker,
dan satu pet Fanta merah strawberry
yang manis.
Bunyi katakata itu makin jelas terdengar
dalam genderang telinga hatiku :
“Temenku pernah bilang
bahwa dalam minuman ini,
dia menemukan kebebasan,
kepercayaan,
kesetiaan,
teman sejati,
dan itulah kebenaran !”
Sepi terasa semakin nyata,
Terpantul dalam penglihatan
akan seorang lakilaki yang asyik bermain ayunan,
sendirian,
di tengah malam remangremang,
berteman pohonpohon taman yang bisu,
tak terawat
dan sesekali bergerakgerak disentuh angin.
Kembali diriku sibuk dengan anganangan
yang mustahil menjadi kebenaran,
selain kebenaran anganangan.
Anganangan akan katakatanya
yang mematikan rasioku,
tetapi mengajak hatiku berlari kencang
dengan memberikan energi pada darahku
yang makin deras terpompa.
Apakah benar orang berandai tentang kebenaran?
Ataukah,
kebenaran berandai tentang yang benar,
itulah kebenarannya?
Desah angin malam sudah tak kuhiraukan.
Tarian pohonpohon taman tak menarik lagi.
Langit malam pun terlihat semakin hitam.
Dan, aku hanya diam.
Membisu.
Terus bercermin.
Seolah mengajak ngobrol
dengan satu cangkir putih kecil,
dua botol beer Anker,
dan satu pet Fanta merah strawberry
yang manis.
Seolah tinggal sebagai seolah
karena obrolan tak pernah terjadi.
Semua diam.
Membisu.
Mati pada dirinya sendirisendiri.
Dan, tak ada kebenaran yang tersingkap.
Lalu, dimanakah penyingkapan itu akan terjadi?
Tibatiba,
terpantul potrait diri
yang nyata,
sadar-setengah-sadar,
mata memerah,
kepala seakan terangkat naik,
tubuh lunglai di kursi sandaran,
tetapi rasa ingin tahu terus meminta,
pertanyaanpertanyaan ingin segera dijawab,
tetapi,
apa ada?
Jawaban tak kunjung datang,
sambil terus melanjutkan sessi berikutnya.
Kugerakkan bibirku berbisik.
Kukeluarkan sedikit tenaga untuk berucap.
Kuhembuskan nafat hangat dari kedua lobang hidungku,
bertanya pada malam :
“Quid est veritas, Frater ?”
yang saat itu meluncur deras dari bibir mungil
bak pita kirmizi,
penuh emosi,
ada sedikit kegeraman,
dan lara hati yang menyayat.
Sesaat membuatku tersentak,
membuatku berpikir,
dan masuk ke dalam loronglorong panjang
yang tak berujungpangkal,
membawa suatu stagnasi rasio,
memainkan nyanyian hati,
yang juga ikut menangkap lara hatinya yang menyayat,
kegeramannya yang sedikit meluap,
dan emosinya yang menggebu.
Apakah gerangan nama rasa ini?
Perlahan,
hati ini mengulang,
menyanyikan lagu bernada dasar D,
dengan guitar tua dalam anganangan,
mematikan rasa di ujung lidah,
dan menggelayut berteman sepi.
Bibir yang bergerakgerak pelan,
terpantul dalam dinding satu cangkir putih kecil,
dua botol beer Anker,
dan satu pet Fanta merah strawberry
yang manis.
Bunyi katakata itu makin jelas terdengar
dalam genderang telinga hatiku :
“Temenku pernah bilang
bahwa dalam minuman ini,
dia menemukan kebebasan,
kepercayaan,
kesetiaan,
teman sejati,
dan itulah kebenaran !”
Sepi terasa semakin nyata,
Terpantul dalam penglihatan
akan seorang lakilaki yang asyik bermain ayunan,
sendirian,
di tengah malam remangremang,
berteman pohonpohon taman yang bisu,
tak terawat
dan sesekali bergerakgerak disentuh angin.
Kembali diriku sibuk dengan anganangan
yang mustahil menjadi kebenaran,
selain kebenaran anganangan.
Anganangan akan katakatanya
yang mematikan rasioku,
tetapi mengajak hatiku berlari kencang
dengan memberikan energi pada darahku
yang makin deras terpompa.
Apakah benar orang berandai tentang kebenaran?
Ataukah,
kebenaran berandai tentang yang benar,
itulah kebenarannya?
Desah angin malam sudah tak kuhiraukan.
Tarian pohonpohon taman tak menarik lagi.
Langit malam pun terlihat semakin hitam.
Dan, aku hanya diam.
Membisu.
Terus bercermin.
Seolah mengajak ngobrol
dengan satu cangkir putih kecil,
dua botol beer Anker,
dan satu pet Fanta merah strawberry
yang manis.
Seolah tinggal sebagai seolah
karena obrolan tak pernah terjadi.
Semua diam.
Membisu.
Mati pada dirinya sendirisendiri.
Dan, tak ada kebenaran yang tersingkap.
Lalu, dimanakah penyingkapan itu akan terjadi?
Tibatiba,
terpantul potrait diri
yang nyata,
sadar-setengah-sadar,
mata memerah,
kepala seakan terangkat naik,
tubuh lunglai di kursi sandaran,
tetapi rasa ingin tahu terus meminta,
pertanyaanpertanyaan ingin segera dijawab,
tetapi,
apa ada?
Jawaban tak kunjung datang,
sambil terus melanjutkan sessi berikutnya.
Kugerakkan bibirku berbisik.
Kukeluarkan sedikit tenaga untuk berucap.
Kuhembuskan nafat hangat dari kedua lobang hidungku,
bertanya pada malam :
“Quid est veritas, Frater ?”
[www.dailyrecord.co.uk] |
Anyer, Jawa Barat
10 Januari 2005
airdara
10 Januari 2005
airdara
0 Response to "“Quid est veritas?”"
Posting Komentar