Potrait

Potrait

Tergeletak di selasela tumpukan kertas terserak
Nampak olehku arsiran tak rata
Bekas goresan pensil kedukaan.
Tangan itu seakanakan bergerakgerak
Kaki itu seakanakan terbujur kaku
Rambutnya terkulai, nampak anggun
Buah dadanya menantang,
Dan,
Wajah itu mendongak ke atas seakanakan congkak
Tapi,
Air mata terus mengalir dari matanya
Darah terus berlari seakanakan ketakutan pada sayatsayat kulit di kedua lengan tangannya

Mahkotanya tampak dingin

Mengapa harus mendongak congkak seperti itu?
Tidakkah dia tunduk dan menyembunyikan bilurbilur tubuhnya? 

Wajah itu menyembunyikan sesuatu: entah apa?
Ada segaris mancung hidungnya yang mencoba menipu
Namun,
Belahan bibirnya seakanakan beku
Dagunnya pasti akan kelelahan mendongak

Adegan yang memancing orang melempar muka itu
Sekarang ada di selasela tumpukan kertas terserak
di depanku
satu, dua, tiga titik dan bertitik darah itu masih terhitung
Namun,
Yakin tak akan pernah tepat hitungan itu
Mengapa?
Apa yang hendak dihitung?
Darah? Air mata?
Atau goresangoresan hitam pekat di selasela tumpukan kertas terserak?

Betapa rapuhnya dia dengan penampilan itu
Seakanakan mengharapkan orang untuk ikut menghitung lukanya,
Memahami dirinya
Dan menerima masamasa sulitnya
Tapi,
Apakah itu cukup?
Seakanakan hatinya pun tak pernah ikut diperhitungkan
Itulah sebabnya waajah itu tersirat menyembunyikan sesuatu
Mengapa tidak dikeluarkan pelanpelan?
Padahal, seakanakan dia sudah siap menyayat hatinya,
Mengorek isinya bak lukaluka yang hitam membekas
Di selasela tumpukan kertas terserak

Memang tak kulihat pancaran hati yang cerah
seperti tipuan yang tergores di mancung hidungnya
tidakkah dia tahu bahwa dia justru menipu dirinya?
Bersembunyi pada penampilan yang membuat orang ngeri?
Tapi menimbun hatinya di bawah buah dada itu?
di tutupi kertas terserak?

Dan,
 yang kulihat hanyalah sebagian belaka
mengapa?
Karena dia masih at home bersembunyi di sela-sela tumpukan kertas terserak
Seakanakan.

[kichigaii.wordpress.com]

Salemba, Jakarta Pusat
14 Desember 2004
airdara