Jalan bercabang di pinggir hutan jati...

Jalan bercabang di pinggir hutan jati...

kulangkahkan kakiku lemah
menyusuri tanah basah,
diiringi terpaan angin
menyobek awan yang bergerak di punggung bukit
meronta menjelma dalam bayang-bayang burung
yang terbang sore itu

mataku terhenti bersama langkahku
menatap tajam pada percabangan jalan di depan hidungku
menginterogasi rumput-rumput di sekeliling jalan
menyibak angan melintasi semesta ruang
melongok ke jendela waktu
bertanya semakin panas dalam hati :
"Ke mana aku harus melangkahkan kakiku?"

sepuhan angin senja itu mendinginkan hatiku yang mulai panas
membasahi kerongkonganku yang mulai kering kerontang
bak hutan yang nyaris terbakar tersulut puntung rokok
milik seorang penjaga hutan
yang juga takut berjalan sendirian
tetapi tidak takut menentukan arah
ke mana harus melangkahkan kakinya

percabangan jalan di pinggir hutan jati:
satu jalan berbeda dari jalan yang lain
jauh berbeda seperti kembar yang tak pernah sama
kembar yang pasti menipu mata banyak orang
larut dalam fatamorgana tampilan luar
dan meninggalkan kebingungan,
semacam pertanyaan
yang sulit terjawab
satu kesamaannya, adalah aku tak tahu
masing-masing jalan itu berakhir dimana,
seperti apa
dan bagaimana
satu jalan meninggalkan bekas serakan langkah semu manusia
mungkin juga ada orang lewat?
Mungkin juga tidak?
mungkin juga di jalan yang lain?
semunya langkah manusia itu
bertutup daun-daun basah oleh gerimis yang turun di senja itu
guguran daun-daun menebal menyelimuti satu jalan itu
selimut yang selalu menghangatkan kaki-kaki yang melangkah lewat
sehingga bekas langkah pun hanya terasa semu
dalam perasaanku saat itu
jalan yang lain bersih dari daun guguran
atau setidaknya terserak rapi teratur di pinggiran jalan
namun, tanah basah hitam gelap nan pekat
menyeramkan karena perasaanku mengatakan
bahwa mustahil orang melangkahkan kaki di sini
tapi uluran benang budiku
kencang menunjukkan
bahwa seperti tersedia kemudahan di jalan ini
uluran itu semakin jauh mengibarkan layang-layang anganku,
lebih tepatnya logikaku
bahwa secara logis orang pasti akan menapakkan kaki di sini
meskipun sedikitpun tapak tidak tampak
hanya gelap hitam menyeramkan tanah jalan itu menyapaku

rambutku mulai basah terguyur gerimis
yang makin genit menampari mukaku
anganku terbang jauh seandainya.....
logikaku terus melaju seperti komputer
yang selalu siap bekerja jika diberi perintah
perasaanku makin dingin dan rawan sekali tergoda
pada genitan gerimis yang menampari dinding hatiku

dingin semakin mencekam
hanya tarian daun-daun yang menyibak anganku
berjingkat menari seperti burung pipit meloncat
dari ranting satu ke ranting yang lain
dari satu pohon ke pohon yang lain
aku ingin segera melangkahkan kakiku agar semua segera selesai
namun waktu merambat dari detik ke detik
menit yang satu saling menunggu datangnya menit yang lain
dan, dan
jam ini akan dengan sabar penuh toleransi menanti tibanya kawan selanjutnya.

setelah sekian waktu aku berpikir
kuputuskan untuk memilih salah satu jalan di antara keduanya
salah satu jalan bercabang di pinggir hutan jati
hanya bedanya dengan orang lain:
aku memilih jalan yang sedikit orang melewatinya
mengapa?
mengapa?
mengapa?   
aku terus mencari terang di ujung percabangan itu
sembari kulangkahkan kakiku dengan langkah penuh kepastian seorang serdadu
aku akan maju terus!
[s1.favim.com]
Salemba, Jakarta Pusat
 Awal Januari 2004
airdara

0 Response to "Jalan bercabang di pinggir hutan jati..."

Poems • ReflectionsStoriesCrumbsContact
free hit counters