Wening Mangku Hayuning Bawana

Wening Mangku Hayuning Bawana

Suara air masih terdengar mesra di telingaku, seperti kidung mazmur seorang pujangga ternama yang melantunkan ayat demi ayat menyendal-nyendal hati yang luka diiringi dentingan kecapi bergetar semakin meninggi ke puncak-puncak gunung mahameru, turun ke lembah-lembah hijau penuh dedaunan segar yang terguyur derasnya hujan semalaman meninggalkan suara gaung di gugus tebing-tebing curam nan indah seperti lolongan serigala yang memanggil-manggil alam untuk bersahabat dengannya, suara persahabatan yang dirindukan oleh negeri-negeri jauh yang sedang bertikai, menyayat, menghauskan dahaga akan arti sebuah persahabatan.

[www.ryanphotographic.com]
Mata batinku berkelana mengepakkan sayap yang bulunya sedang mekar laksana kuntum-kuntum mawar yang sedang memerah diterpa buaian sang surya, melambai-lambai menyapa arak-arakan mega yang berduyun-duyun lewat seperti barisan kafilah gurun yang melangkah pelan diiringi unta-unta tua yang tetap tegar memikul beban tanpa peduli ke mana arah dan tujuannya. Kulihat corong-corong angkasa mulai menampakkan kuasanya, menggelegar seperti orasi dalam kampaye yang disambut teriakan yel-yel para pendukungnya, berdiri menantang bak penguasa yang marah di hadapan para buruhnya, menendang meja, membanting kursi disertai umpatan kata-kata kotor yang meluncur menciptakan bunyi-bunyian yang memekakkan telinga, meresahkan hati, merobek sukma dalam relung-relung hati terdalam yang tirainya terkoyak dibarengi kilatan-kilatan sinar pantulan kaca kalbu yang porak-poranda, tercecer di sembarang tempat dan menjadi sesuatu yang amat menakutkan.

Sekejab senyap dan kembali terdengar bunyi harmoni semesta kosmos dalam senandung sajak-sajak kontemporer yang tidak punya aturan, tetapi menjadi komoditi yang memuaskan nafsu peminat seni, seperti kopi panas yang menemani sebatang rokok di kala senja redup memudarkan warna jingga di balik tembok-tembok biara tua dalam kesunyian menyambut datangnya Sang Dewi Malam. Tanpa ada janjian, satu pikiran menyeruak masuk serambi kalbuku, membawa bingkisan nan indah, namun terlihat mengerikan untuk kuterima, sebuah pertanyaan yang sering diajukan para guru di depan siswa-siswinya yang bandel, sebuah pertanyaan retoris yang keluar dari keretorisannya dan mempertanyakan apa yang dialaminya sendiri –apakah arti sebuah perjumpaan dengan alam? Aku berbisik lirih dalam lubuk hatiku, kukatakan pada batu-batu besar di sungai yang diam membisu, kuungkapkan hal itu pada dedaunan kuning yang melayang  seperti lunglai karena kalah bertanding, semua kuekspresikan bersama aliran sungai yang menyentuh ari kulitku, yang mengguyur hatiku yang mulai mendidih, yang terlahir untuk menjadi bagian dalam hidup batinku dalam lembutnya kabut yang terasa menghampiriku dengan mesra, bak seorang istri yang datang menciumi suaminya yang kembali selamat dari medan laga. Semakin aku bertanya, semakin mereka diam. Semakin aku diam, semakin mereka banyak menceritakan sesuatu, bercerita tentang lembah-lembah hijau yang menjadi pertapaan ular-ular sawah yang mendirikan padepokannya, gugus-gugus batu kali memperlihatkan keindahan formasi bentuk di kala mereka berjajar, diam menempatkan dirinya masing-masing berbaris acak dalam kerapian, berjalan semrawut dalam keindahan yang meliuk-liuk seperti penari profesional yang melenggak-lenggok di depan penonton, mempertontonkan keindahan dalam dirinya, berjoged penuh semangat dan bercerita penuh gairah.
[www.panoramio.com]

Nafasku yang dalam mengakhiri semua cerita mereka ketika udara itu membawa butir-butir makna keheningan dalam kebersamaan bersama alam, hanya hadir dan membiarkan mereka hadir seperti apa adanya, tidak menuntut dan tidak banyak komentar, seperti seorang tukang obat yang jago bicara, tetapi tidak mengerti makna pembicaraannya. Perjumpaan itu membawa kalbuku diarak ke nirwana, semarak puji-pujian dan syukur di hadapan Tahta Kemuliaan Sang Empunya Kosmos, berjoged mesra dalam senandung harmoni yang bersyair tanpa lirik dan bermusik tanpa alat, wening raga-sukma dan hanya hadir – itu cukup!

Susur sungai in memoriam
Villa Lembur Kosong,Cikretek
Bogor, Jawa Barat
2-3 April 2004
airdara

0 Response to "Wening Mangku Hayuning Bawana"

Poems • ReflectionsStoriesCrumbsContact
free hit counters