Pertanyaan yang Tiada Akhir
Tuhan, harapanku Engkau ada dan hadir di sini, saat inimenghapus tanda tanya besar dalam diriku:
Mengapa harus ada sederetan aksi terror bom di negeri ini?
membuat kering begitu tajam mencekam
takut menjadi nafas kami
saudara kami menjadi setumpuk mayit gosong [mayat hangus]–menjadi data statistik: korban-
Mengapa harus orang-orang ini yang menjadi korbannya?
Mengapa harus ada rasa takut dalam diri kami untuk menerima kenyataan?
Ataukah mengapa Engkau memberikan kemampuan untuk merasa:
tidak puas,
tidak terima,
dan harus sedih-marah-kecewa?
Apakah Engkau sudah menggariskan semua ini terjadi?
Jika memang begitu, mengapa harus kekerasan jalannya?
Itukah jalan yang Kaupromosikan di zaman ini?
Mengapa kami harus menjadi korban dari manusia-manusia lain?
Bukankah kami, dia, mereka Kauciptakan baik adanya,
untuk nguwongke wong liya [memanusiakan manusia lain]?
Bukankah hak kami untuk menuntut Engkau adalah sama?
Adakah Engkau membiarkan semua ini terjadi,
kami –Your beloved children- [yang disebut anak-anakMu] telah direndahkan, tidak dihargai?
Adakah Engkau mengajarkan tindak sebejat itu:
membunuh, meneror, memperkosa hak manusia lain?
Tidakkah Engkau melihat wajah dunia yang penuh luka goresan yang dibuat oleh
makhlukMu sendiri?
Jika Kau tidak menggariskan semua ini terjadi, mengapa Engkau berdiam melihat semuanya terjadi?
Mengapa Engkau membiarkan ciptaanMu direndahkan, diperkosa haknya oleh ciptaanMu yang lain?
Now, I wanna ask You: [Sekarang, aku tanya padaMu]
Mana lebih adil: membiarkan semua ini terjadi ataukah segera menghentikannya?
Ayo bicaralah pada nabi-nabiMu!
Apakah Engkau sudah tidak lagi punya kuasa untuk menghentikannya?
Dimanakah thathit-bledeg-gludug-Mu, [kilat-halilintar-petirMu] Oh Tuhan?
Mengapa kami merasa terjajah lagi, bukan oleh wong Londo atau Nippong, [orang Belanda atau Jepang] tetapi oleh uwonge dhewe [orang kita sendiri]?
Apakah ini akibat pluralitas kami?
Apa maksudMu mengadakan keanekaragaman ini?
Makan-memakan, membuat jaring-jaring makanan antar sesama sendiri?
Ataukah membuat jaring-jaring persaudaraan sejati yang muluk itu?
Tuhan,
diam?
Memejamkan mata?
Bisukah?
Butakah?
Ada-kah?
Matikah?
Apakah benar Engkau sudah mati atau aku yang mengira telah melihatMu mati terkubur dalam puing-puing reruntuhan bom di hotel itu?
Mati atau tidak bukan urusanku, dia, atau mereka; tetapi Engkaulah yang harus memikirkannya.
Apakah Engkau sudah memikirkannya?
J.W. Marriot Bombing in memoriam
Salemba, Jakarta Pusat
15 Agustus 2003
airdara
Salemba, Jakarta Pusat
15 Agustus 2003
airdara
0 Response to "Pertanyaan yang Tiada Akhir"
Posting Komentar