Hijrah ke Mesir
Malam itu udara berhembus manja menggeser seonggok jerami yang sedang tertidur pulas setelah seharian menerima tamu. Tampak remang-remang sinar obor di sudut kandang berukuran cukup untuk lima ekor unta dewasa. Bau wangi parfum semerbak menyebar di sekeliling empat orang yang tidur di kandang itu, mengusir bau-bauan tak sedap lainnya. Dapat dipastikan bahwa bau itu adalah sisa-sisa wewangian yang dipakai tiga raja yang sore ini datang mengunjungi orang-orang yang terbaring letih di kandang itu. Suara binatang malam semakin menghempaskan malam itu ke suasana yang lebih larut, lebih hening, lebih mencekam dan lebih
sakral.
“Tidak aman lagi di sini, sekarang pergilah ke Selatan!”, ucap seorang berjubah putih pada Joseph. Joseph hanya diam, menutup matanya dalam kebingungan dan kegalauan hati yang terus bertanya, ‘Apa maksud orang ini?’.
”Cepat! Bawa istri dan momonganmu, malam ini juga! Pergilah ke Mesir!”, lanjut pria misterius itu tanpa pernah mau tahu apa yang sedang menjadi kegalauan Joseph.
“Tapi,….”.
“Jangan pakai tapi-tapian segala, sekarang pergilah! Di sini sudah tidak aman!”, pria misterius itu semakin memberondongnya dengan perintah. Dia sungguh-sungguh orang yang tidak kenal kompromi, bahkan kompromi dengan lawan bicara yang akan menyelesaikan kalimatnya.
“Bangun Tuan, Tuan! Bangun Tuan!”, bisik Klimax –seorang pelayan negro- membangunkan Joseph, sambil menggoyang-nggoyangkan tubuhnya.
Segera Joseph bangun dan berteriak membangunkan Maria, istrinya yang baru 24 jam yang lalu melahirkan anak pertamanya. Joseph seperti kerasukan setan segera mengajak Maria pergi malam itu juga. “Cepatlah berkemas, kita akan pergi ke Mesir!”, desak Joseph pada istrinya. Dia tidak mempedulikan pelayannya yang berusaha menenangkannya. Maria pun bingung melihat kelakuan suaminya yang aneh, sangat aneh.
Maria masih terlihat lemas, meski sudah tidak mengalami pendarahan akibat melahirkan bayinya. Namun, dia tetap patuh pada suaminya dan segera menggendong anaknya yang masih merah itu. Sambil menunggu Joseph berkemas-kemas dan menyiapkan keledai, Maria tiba-tiba melelehkan air
mata. Hatinya bergumam: ‘Apa lagi ya Tuhan derita yang harus kupikul bersama suamiku dan bayi ini?’
“Tuan, aku ingin ikut dengan Tuan. Aku sudah ikut Tuan sejak usiaku masih belasan tahun. Aku tidak punya siapa-siapa lagi kecuali hidup bersama Tuan dan istri-anak Tuan. Tuan, izinkan aku ikut.”, Klimax –si negro itu- merengek kepada Joseph ketika Joseph keluar menggandeng Maria yang menggedong bayinya.
Joseph menjawab sambil berlinang air mata, “Maafkan aku, Klimax. Kamu sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Tapi, kali ini aku tidak dapat mengajakmu. Aku tahu engkau mau berbuat apa saja bagi keluargaku, tapi aku tidak bisa mengajakmu untuk kali ini. Ini akan terlalu berat untukmu. Aku sendiri tidak tahu, akan bagaimana dengan hari esok bagi diriku, bagi istriku dan bagi bayi ini”. Joseph memeluk Klimax dan memberikan perbekalan dan uang separo dari yang dimilikinya.
Setelah Klimax diberi kepercayaan untuk kembali ke Nazareth meneruskan usaha pertukangan Joseph, keluarga muda itu mohon pamit pada pemilik kandang yang dipakai Maria bersalin.
“Kalian mau kemana? Apa tidak kasihan dengan bayimu yang masih merah itu? Kenapa tidak tinggal saja sementara di sini?”, tanya ibu yang berusia lebih dari setengah abad itu sambil mengusap air matanya yang mulai membanjiri pipinya yang mulai keriput.
Joseph hanya tersenyum dan berucap ramah, “Terima kasih atas tumpangannya”. Lalu, mereka melanjutkan berpamitan pada para gembala yang mereka jumpai masih berjaga di sekitar tempat itu. Beberapa gembala yang tua berkata, “Bayi sekecil itu mau dibawa kemana?”.
“Kami akan pergi ke Mesir”, jawab Maria lugu.
Joseph melanjutkan jawaban istrinya sambil tersenyum, “Di sini sudah tidak aman lagi bagi kami”.
“Mesir? Negerinya Firaun? Masyaallah!”, jawab salah seorang dari mereka keheranan. Banyak diantara mereka yang dipamiti ikut menangis melihat hal itu. Mereka tidak sampai hati menyaksikan bayi merah itu dibawa dalam perjalanan jauh. Tanpa persiapan yang matang dan hanya berbekal hadiah dari tiga raja yang datang melihat Sang bayi, mereka melangkahkan kaki meninggalkan Bethlehem. Angin malam itu menghantar kepergian mereka. Dingin. Sepoi-sepoi basah dan serasa ikut merasakan penderitaan yang dialami keluarga kecil itu.
Langkah-langkah kaki mereka semakin lama semakin memberikan jawaban pasti: ‘mengapa mereka harus pergi’. Joseph sepenuhnya sadar bahwa Baginda Raja Herodes Agung pasti akan mencari bayinya dan berusaha membunuhnya. Meski dia tidak tahu pasti ada apa dengan bayinya, tetapi dia hanya percaya pada wahyu yang diterima dalam mimpinya. Mereka tidak pernah memahami secara benar-benar jelas dalam pikiran mereka atas perjalanan hidup mereka semenjak kehamilan bayi itu. Namun, mereka dapat menyadari sepenuhnya dalam hati dan iman mereka. Maria –dengan setia- mendekap bayinya yang pasti juga merasakan udara dingin malam itu.
‘O Mesir, dimanakah kau akan kami temui? Akankah kami sampai ke pelukanmu dalam keadaan utuh? Dapatkah kau katakan pada dunia bahwa anak-anak manusia ini akan mengunjungimu? Maukah kau berjanji untuk menerima kami sebagaimana kami apa adanya? Ingatlah dalam sejarah hidupmu bahwa kaki anak-anak manusia dari Nazareth pernah menginjak bagian-bagian darimu yang paling sulit sekali pun! O Mesir, songsonglah kami dalam keadaan utuh! Biarlah Tuhanmu mengunjungimu barang sebentar. Ingatlah bahwa jasamu akan tercatat dalam buku sejarah kebaikan dunia yang mengharumkan namamu di antara kota-kota tetanggamu!’, Maria mendaraskan ungkapan hatinya sambil memandangi jalan padang gurun yang seakan tak punya ujung pangkalnya.
Malam berganti siang. Siang berganti malam. Semua panas terik, gurun pasir. Merah. Putih menyilaukan. Tak kuasa hati mereka berucap lagi selain ‘Biarkanlah cawan ini lewat daripada kami. Tetapi kehendakMulah yang terjadi. Fiat Voluntas Tua!’. Sudah lebih seminggu mereka berjalan melewati padang gurun panjang tak jelas ujungnya. Keledai mereka yang setia, juga kelihatan merasakan apa yang dialami tuannya. Dia ikut berjuang untuk membawa Maria dan bayinya. Tiap kali ada sungai berair, mereka berhenti. Namun, satu pohon pun belum pernah mereka temui. Tidak ada pohon yang tumbuh untuk membantu mereka melalui cobaan di padang gurun, setidaknya memberikan tempat untuk berteduh. Sangatlah memelas ketika mereka mulai kehabisan makan. Perbekalan sudah habis, mereka sudah tidak punya harapan lagi. Bagaimana mau berharap di tengah padang gurun panas, tidak ada orang yang dapat dimintai makan di situ, tidak ada sesuatu yang dapat dimakan? Hati mereka yang sudah terpanggang oleh panasnya gurun tetap dingin dan mulai mendaraskan lagu kerinduan:
‘Mesir dimana kau?
Kami sudah lelah mencarimu.
Mesir dimana kau?
Kami tak tahu lagi arahmu.’
Mata mereka sudah mulai kuyu. Mataforgana mulai terasa pada penglihatan mereka. Tiba-tiba, dari kejauhan Joseph melihat serombongan saudagar kain sutera dan emas yang lewat. Setelah dekat, Joseph mendekati mereka dan menawarkan menjual emas hadiah dari Yang Mulia Baginda Baltazar, salah satu dari raja yang datang untuk mengunjungi bayinya.
“Berapa?”, tanya saudagar itu.
“Terserah Tuan mau menghargai berapa. Saya ikut saja, asalkan kami dapat makan, saya, istri dan anak saya”, Joseph pasrah pada –apa yang disebut banyak orang- providentia Dei.
Saudagar itu terkejut mendengar “anak kami”. Lalu dari atas unta tunggangannya, saudagar itu melihat bayi merah yang sedang tidur lelap dipelukan ibunya. Mereka menjadi sangat simpatik pada Joseph setelah melihat bayinya. Mereka sangat kasihan terhadap Joseph. Akhirnya, Abdullah, pimpinan pedagang itu, memberikan seekor unta muatan plus muatannya.
“Bekal ini akan cukup bagi kalian untuk sampai ke Mesir. Hati-hati di jalan. Terus melewati arah ini saja. Uangnya disimpan untuk jaga-jaga, tidak usah terlalu sungkan.”, seru saudagar itu sambil berusaha menolak apa yang diulurkan Joseph kepadanya.
“Terima kasih Tuan”, jawaban Joseph sambil mohon pamit pada mereka. Joseph meneruskan perjalanannya bersama Maria dan bayinya.
Ketika tiba di Mesir, bayinya sudah berumur hampir sebulan. Dia sungguh melewati masa-masa awal berkenalan dengan dunia yang penuh risiko besar di gurun. Dia belajar merasakan pahitnya realitas dunia ini. Akhirnya, sampailah mereka di Mesir.
‘O Mesir, Mesir! Akhirnya engkau mau menyambut kami bertiga dalam keadaan yang utuh. Pastilah para bapa leluhur kami akan bangga kepadamu karena keperkasaan dan ketabahanmu menerima anak-anak keturunannya dengan tangan terbuka. Akan banyak mazmur dinyanyikan untukmu. Akan banyak gadis memuji-muji kebaikanmu dan engkau pasti akan dirindukan oleh keturunanku. Mereka akan berterima kasih padamu karena engkau mau memberi tumpangan bagi leluhur mereka. Di sinilah akan kumulai memperkenalkan anakku dengan realitas hidup masyarakat perantauan’, ungkapan perjumpaan hati Maria dengan Mesir.
Udara panas menyambut kedatangan mereka dengan angkuhnya. Kemudian, Joseph berusaha untuk
dapat menjual hadiah-hadiah yang diberikan oleh para raja pada saat kelahiran bayinya. Di luar dugaan, orang-orang yang mereka jumpai ternyata adalah orang-orang perantauan yang juga ingin mengadu nasib dengan datang ke Mesir. Setelah semua terjual dan mendapatkan uang, mereka mulai mencari penginapan. Di ujung salah satu kampung di sana, ditemukan satu bangunan tua yang kelihatan lama tidak berpenghuni. Gentingnya sudah mulai berjatuhan. Rumah itu tampak reyot dan tak terawat. Halamannya cukup luas, tetapi sangat kotor oleh debu-debu pasir padang gurun. Tak ada satu tanaman pun yang memperindah lingkungan di sekitar rumah itu.
Joseph menuntun keledai dan unta bersama-sama memasuki halaman rumah itu. Tiba-tiba seperti ada sosok tubuh agak bongkok berteriak kepada mereka sembari menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh, “Kalian mau cari kontrakan ya?”
Dengan sesungging senyum tipis di bibir, Maria menjawab, “Iya Bu, apakah Ibu masih punya kamar kosong untuk waktu yang relatif lama bagi kami bertiga”.
“Iya Bu, kasihanilah kami. Kami baru sampai dari perjalanan panjang, dari Bethlehem. Kami butuh tempat yang cukup untuk tinggal”, celetuk Joseph berusaha meyakinan wanita yang rambutnya sudah mulai ubanan itu supaya tergerak hatinya oleh belas kasihan. Dia terus mendesak ibu tua itu supaya memberikan tumpangan untuk tinggal sementara.
Ketika ibu itu mendekat, ibu itu tergerak oleh belas kasihan melihat bayi kurus di pelukan Maria. “Baiklah nak, kamu lihat sendiri rumah ibu ini. Ibu di sini tinggal sendirian. Terserah kamu jika mau tinggal si sini. Aku merasa senang juga kalau kalian mau menemaniku. Tapi, rumahnya sungguh-sungguh tak terawat. Maklum, Ibu hanya tinggal sendirian di sini”, jawab ibu itu berusaha menjelaskan keberadaannya.
Hari itu juga mereka memutuskan untuk tinggal di situ, tanpa dipungut biaya sewa rumah. Dengan sekejab
rumah itu segera bersih dan tertata rapi, meski banyak hal yang masih harus dilengkapi.Udara panas Mesir sudah bersahabat dengan bayi itu karena di situlah dia harus bertahan hidup untuk beberapa lama.
Dengan modal awal hasil penjualan barang-barang hadiah dari tiga raja tadi plus satu unta dan keledai, Joseph mulai terjun ke dalam usaha menjadi makelar unta. Dia berdagang unta dan keledai untuk menghidupi istri dan anaknya. Usahanya semakin hari semakin maju sehingga mampu memperbaiki perabot-perabot rumah yang sudah lapuk termakan usia. Mereka hidup damai dan berkecukupan, bahkan masih dapat berbagi derma bagi saudara-saudara yang minta pertolongan.
Bayi itu makin hari makin tumbuh menjadi bocah yang periang, ceria lagi penurut. Hari berganti minggu. Bulan berganti tahun. Sampai suatu saat, bayi itu sudah dapat menyebutkan namanya sendiri, “Yesus”. Anak itu tumbuh menjadi anak yang patuh dan cerdas. Dia sering ikut ayahnya berjualan unta di pasar. Dia bertumbuh menjadi anak yang sangat peka terhadap penderitaan orang lain, karena awal keberadaannya di dunia inipun sudah dijalani dengan penderitaan yang berkepanjangan di padang gurun.
Suatu ketika, waktu penyunatan sudah tiba. Bocah sembilan tahun itupun baru disunat. Yesus memasuki usianya yang kesepuluh dengan selesainya masa penyunatan dan sembuh. Di akhir hari penyembuhannya itu, dia bermimpi untuk dipanggil kembali ke kampung halamannya bersama ayah dan ibunya. Dan, memang demikian akhirnya. Yesus beserta keluarganya kembali menempuh perjalanan panjang ke Nazareth. Bedanya, sekarang Yesus sudah umur sepuluh tahun, sudah sunat dan sudah dapat menunggang unta dengan lincahnya sehingga dialah yang melayani ibunya setiap kali ibunya meminta sesuatu di tengah perjalanan. Mereka bertiga membawa 15 ekor unta, 3 keledai beserta Patricia, ibu pemilik rumah yang mereka diami di Mesir juga diajak. Ibu pemilik rumah itupun sudah dianggap seperti nenek Yesus sendiri.
Setelah hampir memasuki Nazareth, Yesus seakan-akan sudah pernah tinggal di sana. Semua terasa tidak ada yang baru sama sekali. Penglihatannya sudah jauh melebihi seorang manusia biasa. Dia mampu membaca tanda-tanda di langit yang penuh bintang yang gemerlapan. Suatu waktu, dia membaca bahwa Herodes Agung sudah wafat beberapa tahun yang lalu, kerajaannya terpecah-pecah menjadi tiga. Anak-anaknya pun tidak dapat akur dan saling berebut jatah kekuasaan. Segala kejadian yang ada di dunia ini tak luput dari pandangan mata batinnya. Maka, ketika memasuki Nazareth, dengan mudah dia menyapa teman-teman sebayanya yang belum kenal seperti sudah kenal lama dan baru bertemu kembali setelah lama berpisah. Pada saat itulah dia terus bernyanyi untuk menyambut kepulangan keluarganya dari negeri Firaun dan merayakan kedatangannya di Nazareth:
‘Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu.
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat
penuh selaksa makna.
Musisi jalanan mulai beraksi, seiring laraku kehilanganmu –O Mesirku.
Merintih sendiri, ditelan deru kotamu
Walau kini engkau tiada kan kembali
Izinkanlah hati untuk slalu pulang lagi
Bila hati ingin terobati….
O Mesir, selamat tinggal
O Nazareth, di sinilah aku akan melanjutkan menabur benih cintaku’.
Setibanya di Nazareth, mereka tinggal bersama Klimax –si Negro pelayan Joseph- yang setia menanti kedatangan tuannya. Dia sudah mempersunting Betty –gadis Negro anak pedagang kain- dari Kana dan masih bekerja sebagai tukang kayu, melanjutkan usaha yang ditinggalkan Joseph. Sedangkan Joseph, setelah tinggal di Nazareth, justru masih melanjutkan pekerjaan yang ditekuninya semenjak di Mesir sebagai makelar unta. Yesus pun ikut membantu pekerjaan ayahnya. Di sanalah dia semakin tumbuh dewasa dalam iman dan hikmat akan cinta Allah dan sesamanya.
Inspirasi tema “Penyingkiran ke Mesir”
Mat.2:13-15
[Kebon Jeruk, Jakarta Barat]
9 Mei 2009
airdara
[hoocher.com] |
“Tidak aman lagi di sini, sekarang pergilah ke Selatan!”, ucap seorang berjubah putih pada Joseph. Joseph hanya diam, menutup matanya dalam kebingungan dan kegalauan hati yang terus bertanya, ‘Apa maksud orang ini?’.
”Cepat! Bawa istri dan momonganmu, malam ini juga! Pergilah ke Mesir!”, lanjut pria misterius itu tanpa pernah mau tahu apa yang sedang menjadi kegalauan Joseph.
“Tapi,….”.
“Jangan pakai tapi-tapian segala, sekarang pergilah! Di sini sudah tidak aman!”, pria misterius itu semakin memberondongnya dengan perintah. Dia sungguh-sungguh orang yang tidak kenal kompromi, bahkan kompromi dengan lawan bicara yang akan menyelesaikan kalimatnya.
“Bangun Tuan, Tuan! Bangun Tuan!”, bisik Klimax –seorang pelayan negro- membangunkan Joseph, sambil menggoyang-nggoyangkan tubuhnya.
Segera Joseph bangun dan berteriak membangunkan Maria, istrinya yang baru 24 jam yang lalu melahirkan anak pertamanya. Joseph seperti kerasukan setan segera mengajak Maria pergi malam itu juga. “Cepatlah berkemas, kita akan pergi ke Mesir!”, desak Joseph pada istrinya. Dia tidak mempedulikan pelayannya yang berusaha menenangkannya. Maria pun bingung melihat kelakuan suaminya yang aneh, sangat aneh.
Maria masih terlihat lemas, meski sudah tidak mengalami pendarahan akibat melahirkan bayinya. Namun, dia tetap patuh pada suaminya dan segera menggendong anaknya yang masih merah itu. Sambil menunggu Joseph berkemas-kemas dan menyiapkan keledai, Maria tiba-tiba melelehkan air
[bibleencyclopedia.com] |
“Tuan, aku ingin ikut dengan Tuan. Aku sudah ikut Tuan sejak usiaku masih belasan tahun. Aku tidak punya siapa-siapa lagi kecuali hidup bersama Tuan dan istri-anak Tuan. Tuan, izinkan aku ikut.”, Klimax –si negro itu- merengek kepada Joseph ketika Joseph keluar menggandeng Maria yang menggedong bayinya.
Joseph menjawab sambil berlinang air mata, “Maafkan aku, Klimax. Kamu sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Tapi, kali ini aku tidak dapat mengajakmu. Aku tahu engkau mau berbuat apa saja bagi keluargaku, tapi aku tidak bisa mengajakmu untuk kali ini. Ini akan terlalu berat untukmu. Aku sendiri tidak tahu, akan bagaimana dengan hari esok bagi diriku, bagi istriku dan bagi bayi ini”. Joseph memeluk Klimax dan memberikan perbekalan dan uang separo dari yang dimilikinya.
Setelah Klimax diberi kepercayaan untuk kembali ke Nazareth meneruskan usaha pertukangan Joseph, keluarga muda itu mohon pamit pada pemilik kandang yang dipakai Maria bersalin.
“Kalian mau kemana? Apa tidak kasihan dengan bayimu yang masih merah itu? Kenapa tidak tinggal saja sementara di sini?”, tanya ibu yang berusia lebih dari setengah abad itu sambil mengusap air matanya yang mulai membanjiri pipinya yang mulai keriput.
[ipaintingsforsale.com] |
Joseph hanya tersenyum dan berucap ramah, “Terima kasih atas tumpangannya”. Lalu, mereka melanjutkan berpamitan pada para gembala yang mereka jumpai masih berjaga di sekitar tempat itu. Beberapa gembala yang tua berkata, “Bayi sekecil itu mau dibawa kemana?”.
“Kami akan pergi ke Mesir”, jawab Maria lugu.
Joseph melanjutkan jawaban istrinya sambil tersenyum, “Di sini sudah tidak aman lagi bagi kami”.
“Mesir? Negerinya Firaun? Masyaallah!”, jawab salah seorang dari mereka keheranan. Banyak diantara mereka yang dipamiti ikut menangis melihat hal itu. Mereka tidak sampai hati menyaksikan bayi merah itu dibawa dalam perjalanan jauh. Tanpa persiapan yang matang dan hanya berbekal hadiah dari tiga raja yang datang melihat Sang bayi, mereka melangkahkan kaki meninggalkan Bethlehem. Angin malam itu menghantar kepergian mereka. Dingin. Sepoi-sepoi basah dan serasa ikut merasakan penderitaan yang dialami keluarga kecil itu.
Langkah-langkah kaki mereka semakin lama semakin memberikan jawaban pasti: ‘mengapa mereka harus pergi’. Joseph sepenuhnya sadar bahwa Baginda Raja Herodes Agung pasti akan mencari bayinya dan berusaha membunuhnya. Meski dia tidak tahu pasti ada apa dengan bayinya, tetapi dia hanya percaya pada wahyu yang diterima dalam mimpinya. Mereka tidak pernah memahami secara benar-benar jelas dalam pikiran mereka atas perjalanan hidup mereka semenjak kehamilan bayi itu. Namun, mereka dapat menyadari sepenuhnya dalam hati dan iman mereka. Maria –dengan setia- mendekap bayinya yang pasti juga merasakan udara dingin malam itu.
[truthbook.com] |
Malam berganti siang. Siang berganti malam. Semua panas terik, gurun pasir. Merah. Putih menyilaukan. Tak kuasa hati mereka berucap lagi selain ‘Biarkanlah cawan ini lewat daripada kami. Tetapi kehendakMulah yang terjadi. Fiat Voluntas Tua!’. Sudah lebih seminggu mereka berjalan melewati padang gurun panjang tak jelas ujungnya. Keledai mereka yang setia, juga kelihatan merasakan apa yang dialami tuannya. Dia ikut berjuang untuk membawa Maria dan bayinya. Tiap kali ada sungai berair, mereka berhenti. Namun, satu pohon pun belum pernah mereka temui. Tidak ada pohon yang tumbuh untuk membantu mereka melalui cobaan di padang gurun, setidaknya memberikan tempat untuk berteduh. Sangatlah memelas ketika mereka mulai kehabisan makan. Perbekalan sudah habis, mereka sudah tidak punya harapan lagi. Bagaimana mau berharap di tengah padang gurun panas, tidak ada orang yang dapat dimintai makan di situ, tidak ada sesuatu yang dapat dimakan? Hati mereka yang sudah terpanggang oleh panasnya gurun tetap dingin dan mulai mendaraskan lagu kerinduan:
‘Mesir dimana kau?
Kami sudah lelah mencarimu.
Mesir dimana kau?
Kami tak tahu lagi arahmu.’
Mata mereka sudah mulai kuyu. Mataforgana mulai terasa pada penglihatan mereka. Tiba-tiba, dari kejauhan Joseph melihat serombongan saudagar kain sutera dan emas yang lewat. Setelah dekat, Joseph mendekati mereka dan menawarkan menjual emas hadiah dari Yang Mulia Baginda Baltazar, salah satu dari raja yang datang untuk mengunjungi bayinya.
[www.elgrandesconocido.es] |
“Berapa?”, tanya saudagar itu.
“Terserah Tuan mau menghargai berapa. Saya ikut saja, asalkan kami dapat makan, saya, istri dan anak saya”, Joseph pasrah pada –apa yang disebut banyak orang- providentia Dei.
Saudagar itu terkejut mendengar “anak kami”. Lalu dari atas unta tunggangannya, saudagar itu melihat bayi merah yang sedang tidur lelap dipelukan ibunya. Mereka menjadi sangat simpatik pada Joseph setelah melihat bayinya. Mereka sangat kasihan terhadap Joseph. Akhirnya, Abdullah, pimpinan pedagang itu, memberikan seekor unta muatan plus muatannya.
“Bekal ini akan cukup bagi kalian untuk sampai ke Mesir. Hati-hati di jalan. Terus melewati arah ini saja. Uangnya disimpan untuk jaga-jaga, tidak usah terlalu sungkan.”, seru saudagar itu sambil berusaha menolak apa yang diulurkan Joseph kepadanya.
“Terima kasih Tuan”, jawaban Joseph sambil mohon pamit pada mereka. Joseph meneruskan perjalanannya bersama Maria dan bayinya.
**********
Ketika tiba di Mesir, bayinya sudah berumur hampir sebulan. Dia sungguh melewati masa-masa awal berkenalan dengan dunia yang penuh risiko besar di gurun. Dia belajar merasakan pahitnya realitas dunia ini. Akhirnya, sampailah mereka di Mesir.
‘O Mesir, Mesir! Akhirnya engkau mau menyambut kami bertiga dalam keadaan yang utuh. Pastilah para bapa leluhur kami akan bangga kepadamu karena keperkasaan dan ketabahanmu menerima anak-anak keturunannya dengan tangan terbuka. Akan banyak mazmur dinyanyikan untukmu. Akan banyak gadis memuji-muji kebaikanmu dan engkau pasti akan dirindukan oleh keturunanku. Mereka akan berterima kasih padamu karena engkau mau memberi tumpangan bagi leluhur mereka. Di sinilah akan kumulai memperkenalkan anakku dengan realitas hidup masyarakat perantauan’, ungkapan perjumpaan hati Maria dengan Mesir.
Udara panas menyambut kedatangan mereka dengan angkuhnya. Kemudian, Joseph berusaha untuk
[posttrib.suntimes.com] |
Joseph menuntun keledai dan unta bersama-sama memasuki halaman rumah itu. Tiba-tiba seperti ada sosok tubuh agak bongkok berteriak kepada mereka sembari menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh, “Kalian mau cari kontrakan ya?”
Dengan sesungging senyum tipis di bibir, Maria menjawab, “Iya Bu, apakah Ibu masih punya kamar kosong untuk waktu yang relatif lama bagi kami bertiga”.
“Iya Bu, kasihanilah kami. Kami baru sampai dari perjalanan panjang, dari Bethlehem. Kami butuh tempat yang cukup untuk tinggal”, celetuk Joseph berusaha meyakinan wanita yang rambutnya sudah mulai ubanan itu supaya tergerak hatinya oleh belas kasihan. Dia terus mendesak ibu tua itu supaya memberikan tumpangan untuk tinggal sementara.
Ketika ibu itu mendekat, ibu itu tergerak oleh belas kasihan melihat bayi kurus di pelukan Maria. “Baiklah nak, kamu lihat sendiri rumah ibu ini. Ibu di sini tinggal sendirian. Terserah kamu jika mau tinggal si sini. Aku merasa senang juga kalau kalian mau menemaniku. Tapi, rumahnya sungguh-sungguh tak terawat. Maklum, Ibu hanya tinggal sendirian di sini”, jawab ibu itu berusaha menjelaskan keberadaannya.
Hari itu juga mereka memutuskan untuk tinggal di situ, tanpa dipungut biaya sewa rumah. Dengan sekejab
[iconsandimagery.blogspot.com] |
Dengan modal awal hasil penjualan barang-barang hadiah dari tiga raja tadi plus satu unta dan keledai, Joseph mulai terjun ke dalam usaha menjadi makelar unta. Dia berdagang unta dan keledai untuk menghidupi istri dan anaknya. Usahanya semakin hari semakin maju sehingga mampu memperbaiki perabot-perabot rumah yang sudah lapuk termakan usia. Mereka hidup damai dan berkecukupan, bahkan masih dapat berbagi derma bagi saudara-saudara yang minta pertolongan.
Bayi itu makin hari makin tumbuh menjadi bocah yang periang, ceria lagi penurut. Hari berganti minggu. Bulan berganti tahun. Sampai suatu saat, bayi itu sudah dapat menyebutkan namanya sendiri, “Yesus”. Anak itu tumbuh menjadi anak yang patuh dan cerdas. Dia sering ikut ayahnya berjualan unta di pasar. Dia bertumbuh menjadi anak yang sangat peka terhadap penderitaan orang lain, karena awal keberadaannya di dunia inipun sudah dijalani dengan penderitaan yang berkepanjangan di padang gurun.
**********
[joyfulpapist.wordpress.com] |
Setelah hampir memasuki Nazareth, Yesus seakan-akan sudah pernah tinggal di sana. Semua terasa tidak ada yang baru sama sekali. Penglihatannya sudah jauh melebihi seorang manusia biasa. Dia mampu membaca tanda-tanda di langit yang penuh bintang yang gemerlapan. Suatu waktu, dia membaca bahwa Herodes Agung sudah wafat beberapa tahun yang lalu, kerajaannya terpecah-pecah menjadi tiga. Anak-anaknya pun tidak dapat akur dan saling berebut jatah kekuasaan. Segala kejadian yang ada di dunia ini tak luput dari pandangan mata batinnya. Maka, ketika memasuki Nazareth, dengan mudah dia menyapa teman-teman sebayanya yang belum kenal seperti sudah kenal lama dan baru bertemu kembali setelah lama berpisah. Pada saat itulah dia terus bernyanyi untuk menyambut kepulangan keluarganya dari negeri Firaun dan merayakan kedatangannya di Nazareth:
[www.freerepublic.com] |
‘Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu.
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat
penuh selaksa makna.
Musisi jalanan mulai beraksi, seiring laraku kehilanganmu –O Mesirku.
Merintih sendiri, ditelan deru kotamu
Walau kini engkau tiada kan kembali
Izinkanlah hati untuk slalu pulang lagi
Bila hati ingin terobati….
O Mesir, selamat tinggal
O Nazareth, di sinilah aku akan melanjutkan menabur benih cintaku’.
Setibanya di Nazareth, mereka tinggal bersama Klimax –si Negro pelayan Joseph- yang setia menanti kedatangan tuannya. Dia sudah mempersunting Betty –gadis Negro anak pedagang kain- dari Kana dan masih bekerja sebagai tukang kayu, melanjutkan usaha yang ditinggalkan Joseph. Sedangkan Joseph, setelah tinggal di Nazareth, justru masih melanjutkan pekerjaan yang ditekuninya semenjak di Mesir sebagai makelar unta. Yesus pun ikut membantu pekerjaan ayahnya. Di sanalah dia semakin tumbuh dewasa dalam iman dan hikmat akan cinta Allah dan sesamanya.
[saltandlighttv.org] |
Inspirasi tema “Penyingkiran ke Mesir”
Mat.2:13-15
[Kebon Jeruk, Jakarta Barat]
9 Mei 2009
airdara
0 Response to "Hijrah ke Mesir"
Posting Komentar