Terimalah Aku Menjadi Sahabatmu!

Terimalah Aku Menjadi Sahabatmu!

Rona mentari seakan diusung awan, berjalan perlahan melintasi cakrawala yang buta akan batas. Sinarnya memancarkan kehangatan yang dengan centil menusuk pori-pori pipiku, seperti belaian seorang ibu muda pada bayinya yang terus menangis karena merasakan ganasnya dunia di sekitarnya. Suara bising pinggiran kota urban terdengar memenuhi rongga pendengaranku, datang-dan-pergi bersama kicau burung yang menyerukan kerinduan akan eratnya persahabatan, bak kerinduan seorang pemuda malang yang harus terbaring lemah di Rumah Sakit pada malam Minggu.
[upasana-inspirations.blogspot.com]

Dinginnya pagi terasa merasuk dalam sekujur tubuhku –seakan dengan paksa mendobrak pintu-pintu jiwaku, meneriakkan seruan-seruan tanpa arti yang membawaku semakin hanyut dalam penglihatan batinku- sembari sesekali memandangi segelas teh yang baru saja disodorkan Maria untukku. Hembusan demi hembusan berubah menjadi pusaran-pusaran yang penuh amarah dan ambisi untuk mengorek relung-relung hatiku yang paling dalam akan makna seorang sahabat.

Lamunanku mulai berbicara dan menari ceria seperti sekelompok balerina profesional yang sedang menggelar sebuah pertunjukkan besar di sebuah gedung teater kelas orang berdasi. Hidungku seakan mencium bau suasana pantai Selatan yang begitu khas, yang menjadi saksi kehidupan bagi permainan masa kecilku, bagi anganku yang kian berkembang, ingin terbang menggapai langit ketujuh diiringi deru kemegahan sangkakala, megah, agung dan mempesona, yang menjadi moment tak terlupakan sepanjang hayat.

[www.howtomeetyoursoulmate.com]
Tiba-tiba kulihat seorang anak dara berlari menghampiriku dalam ekspresi air muka yang nyaris tak dapat terperikan. Satu tatapan kebisuan menyeruduk pintu hatiku, mematikan pandangan mataku yang bersinar dan menghidangkan seribu satu tanya yang tak tahu bagaimana aku harus menjawabnya. Tanpa ada kesepakatan apapun, mata kami beradu, mengadu keangkuhan yang tak kenal kata berdamai, mengadu harga diri yang dipertaruhkan di meja judi –hanya dengan dua pasang mata bisu. Lalu, nyala api terpercik keluar dari matanya yang makin tajam merobek ulu hatiku. Percikan demi percikan itu segera membakar seluruh wajahnya, merembet masuk dalam jiwanya, menggerakkan seluruh tubuhnya dan membuka mulutnya yang sejak tadi terkunci rapat.

[footage.shutterstock.com]
Ketika mulutnya terbuka, serangkaian kata-kata makian terdengar jelas di dalam genderang telingaku. Umpatan itu meluncur bertubi-tubi dari corong mulutnya sembari bibirnya bergetar, menggetarkan saripati amarahnya- seperti sepasukan serdadu meluncurkan peluru tanpa ampun, seperti roket-roket yang beterbangan di angkasa tak bertuan, membawa resah di hati dan mengundang ketakutan yang selalu bersembunyi di lubuk hati terdalam.

Telingaku semakin pekak mendengar ocehannya yang nyaris tak pernah termuat dalam kamus pengertianku tentang dirinya. Tak pernah terbayangkan olehku bahwa ketajaman lidahnya melebihi pisau dokter-dokter bedah orthopedy. Aku hanya diam menangkap kerinduan dari dalam matanya akan pengertian tentang seorang anak manusia yang sedang mendamba beranjak masuk ke dunia kedewasaan. Waktu begitu cepat berlari dan tiba-tiba, secepat kilat kedua tangannya berebut melancarkan serangan ke arah kedua pipiku. Seperti bunyi sepatu para anggota pasukan baret merah yang dihentak-hentakkan, kedua telapak tangan yang kelembutannya pernah kurasakan di kedua pipi ini, sekarang dengan penuh semangat menunjukkan keganasannya. Lukisan kelembutan itu tercoreng dan berubah menjadi sederet catatan menyakitkan yang tergaris permanen di wajah ini.

Aku pun hanya diam, tidak berkomentar, tidak melawan, tidak mencela dan seakan-akan membiarkan dia
[fullgrownpeople.com]
melampiaskan nafsu amarahnya kepadaku. Semakin lama terdengar jeritan-jeritan tangis diantara deru ombak di tepi pantai Selatan. Kian lama terdengar hentakan-hentakan di kedua dadaku, hentakan-hentakan penuh kebencian dan dendam yang bercampur dengan deru kasih dan cinta yang mendalam. Pasir kelabu, ombak menderu, angin yang lembut menyapu butiran-butiran pasir, bersamaan menyaksikan fenomena dua anak manusia berhadapan muka dengan muka, mengungkapkan harga dirinya, menyombongkan hakekat kemanusiaannya di hadapan pantai yang hanya dapat menyaksikan dalam kebisuan yang tanpa pretensi sedikitpun.

Setelah lewat tengah malam, tangan-tangan kejam itu mulai melemah, meninggalkan bekas-bekas merah di pipi, memar di hati dan luka dalam jiwa. Isak tangis yang kudengar semakin menderu keras, terbata-bata dalam gemuruh gelombang pasang. Tiba-tiba dada ini sudah basah. Air mata itu tercurah di depanku dalam dekapan hangat yang sudah sekian lama terasa dingin. Dekapan itu semakin erat, detak jantungnya dapat kurasakan semakin melemah, dan kembali normal. Namun, air mata itu terus meleleh, mengalir membentuk anak sungai yang mungil di kedua belahan pipinya. Tanganku seakan spontan ingin membendung derasnya aliran yang keluar di kedua sudut matanya itu sembari membalas sapuan kelembutan pada rambutnya yang mulai panjang. Suasana seakan kian mencekam, semakin dingin dalam kehangatan dua jiwa yang sedang bersua setelah sekian lama pergi ke jalan masing-masing, tanpa mau kompromi dan mencari jalan lebar untuk bersama melangkah.
[stylelucence.wordpress.com]

Seperti halilintar menyambar hati ini, bibirnya berbisik lirih terpatah-patah dalam isak yang masih berat : “Maafkan aku, ……. aku minta maaf….”. Aku tetap diam, berusaha mengusir keharuan yang mulai merambah jiwaku dengan kesejukan dan kebahagiaan yang berwujud kata-kata indah yang keluar dari bibirnya yang mungil. Kupeluk semakin erat tubuhnya yang mulai kedinginan, sembari berbisik lirih : “Sudahlah ! Yang sudah lewat, biarlah lewat.” Dan, bintang-bintang yang bertaburan di semesta ruang dan waktu memberikan inspirasi serta menggerakkan bibirku untuk menyunggingkan sehelai senyum.

Senyum itu terbawa dalam realitas lamunanku pagi ini. Senyum kebahagiaan dan syukur atas segala pengalaman yang sudah lewat. Senyum yang mengundang hatiku untuk berbisik : “Sobat, aku bersyukur engkau telah menjadi bagian dalam hidupku; dan engkau pun mau menjadikanku bagian dalam hidupmu !” Aku terus mencecap syukur dan kebahagiaan ini dalam-dalam ketika kulihat segelas teh pemberian Maria itu masih berada di sampingku.
[www.walltecno.com]
Wisma Sangkakala Cisarua-Puncak
Bogor, Jawa Barat
8 Agustus 2004
airdara

0 Response to "Terimalah Aku Menjadi Sahabatmu!"

Poems • ReflectionsStoriesCrumbsContact
free hit counters