Kegelisahan
Seseorang duduk di depanku menawarkan sebungkus makanan untuk mengganjal
perut ketika kubenahi posisi dudukku, ketika kulihat lalu lalang orang
berhamburan melenggangkan kaki-kakinya dengan langkah yang panjang, mengibaskan
selendang berdebu, membuat mataku hanya terpana tak tahu makna
|
[www.wallpapers10.net] |
posisi dudukku.
Meskipun arah mataku telah bergeser seakan hati ini tetap dalam irama yang
sama. Hati ini tetap terasa panas, sesak seperti asap rokok kretek yang terasa
pengap mengepul pekat di dalam kamar kost yang tak pernah ditata, dengan
segunung puntung di pojok bed dan seonggok pakaian kotor di bawah meja, tanpa
jendela lebar dan kipas angin satupun.
Bayangan orang lewat terbaca bagus dalam potretan kilau kaca kameramen
kawakan, yang beradu dengan cahaya
kristal dan kemilau lantai yang sedang dibersihkan oleh petugas cleaning
service –terbaca sebagai potretan keremangan hati, kegundahan pikiran di mana
kegelapan yang tidak sepenuhnya gelap, tetapi redup dan tidak terang. Bayangan
itu terasa hitam dalam kemilau sekitar yang menawan, indah dilihat, namun
menumbuhkan seribu tanya, sejuta penafsiran akan realitas diri yang berbayang
redup di atas kaca restoran mewah metropolitan. Mataku tak sengaja memantulkan
bayangan hitam itu, seakan terambil sebagai duplikat rahasia dalam hitam mataku
dan mengatakan suatu isyarat akan sesuatu yang tidak kukenal tata bahasanya,
sulit kutangkap logatnya dan aku justru seperti seorang tuli sedang
mendengarkan kuliah seorang professor besar –sia-sia dan tidak tahu apa-apa.
|
[www.midcontinentparanormal.com] |
Orang itu lewat meninggalkan bayangannya di mataku. Aku melihat masih ada
seseorang duduk di depanku. Kebingungan yang kuderita tak elak lari dari
pikirku, kembali dan mencari persembunyian yang paling aman dalam diriku, minta
dikasihani dan disapa layaknya seorang teman lama yang menuntun sahabatnya yang
tidak mampu berjalan dengan baik setelah tabrakan naas yang menimpanya tempo
hari. Kulihat seseorang yang asyik memegang stick kentang di depanku, bingung
bagaimana harus memakan kentang itu, mencampurnya dengan saos yang menggenang
di piring dan memasukkannya dalam mulutnya. Dia diam, tetapi seakan bertanya
padaku dalam kebisuan dan dinginnya sore di lereng bukit, dalam ramainya pasar
yang dibanjiri pedagang rokok dan bisingnya suara tangis seorang bayi dalam
mikrolet, kepanasan, bingung dan minta perlindungan. Dengan jelas kutangkap
pernyataannya tanpa sulit menerima, tetapi segera disergap oleh bayang-bayang
yang tinggal di hitam mataku.
|
[www.boechat.com] |
Potret bayangan itu dapat menari, bergerak tanpa ada yang memintanya,
tiba-tiba muncul dan
berteriak sengau minta sesuatu atau bersembunyi ketika aku
lelap tertidur. Bayangan itu sengaja ikut bermain dengan pernyataan yang
kuterima dan kubiarkan dia bermain sesuka hati sembari sesekali meloncat
kegirangan atau diam, berpikir serius. Bayangan yang diam itu akhirnya mampu
berkata-kata, menyuarakan lantunan puisinya, ungkapan hatinya, keluhan
deritanya dan sanjungannya padaku. Namun, dia tetap tidak mau beranjak pergi,
dia tetap ada, terbingkai dalam bola hitam mataku, berputar mengelilingi
lingkaran mata, dari satu titik ke titik lainnya tanpa mampu meloncat keluar
seperti air mata yang dengan mudah meleleh.
Tiba-tiba, sosok di depanku menunjuk bayangan di mataku, dia
mempertanyakan, membedah tubuhnya dengan tajamnya pisau operasi dokter bedah,
menerangi dengan cahaya surya yang mampu membakar kertas-kertas kecil tentang
berita dari negeri yang sedang bertikai, merobek-robek ganas bak elang
kelaparan. Aku hanya diam termangu, terus berpikir tentang sesuatu yang belum
tentu dapat dikatakan sebagai sesuatu dengan deskripsi dari adanya sesuatu.
Tidak-bisa-tidak, aku hanya diam dan sesekali mengikuti bayangan hitam di
mataku yang terus berlari dikejar sergapan orang di depanku. Kuikuti ke mana
larinya tanpa pernah berpikir akan membalik arahnya.
|
[sargammishra.wordpress.com] |
Dalam diamku, aku tidak bisa diam. Dalam tidurku, aku tidak mampu
memejamkan mata. Ketika aku berjaga, justru tidak dapat melihat. Dan, aku
menangis tanpa air mata, tak ada sebab dan alasan apapun untuk melelehkan
setetes air mata dan hanya menangis untuk menangis itu sendiri. Semakin kencang
larinya bayangan itu, semakin aku terpacu, tak kenal lelah mengikutinya dengan
detak nafas yang sulit ditata. Hingga sekarang, aku sangsi tentang bayangan
itu, tetapi aku yakin akan adanya. Adanya yang membuat mataku terisi,
menjadikan jantungku berdetak, nafasku hidup dan diriku bertanya. Namun, siapa
orang yang duduk dengan stick kentang di depanku, yang terus mengejar bayangan
di mataku, yang sangsi akan adanya dan berlagak seperti seorang professor yang
menodongku dengan tajamnya pertanyaan-pertanyaan mematikan?
|
[www.shadowstage.co.uk] |
Jawabku pun tak pasti karena aku masih terus membenahi tempat dudukku
sendiri sembari
menikmati hidangan di depanku. Yang jelas hanya bayangan itu
yang menjadi semakin remang dalam penglihatanku –atau justru tidak jelas dalam
inderawiku yang sedang merasa. Bayangan dari kaca yang ditinggalkan orang di
dalam mataku, yang belum pernah kutahu maksud adanya, dan aku bertanya pun, aku
sendiri yang akan menjawabnya. Dia hanya berputar-putar di hitam mataku.
Pelan-pelan kesadaran membasuh budiku melantunkan syair akan hidup yang selalu
berbayangan, dan justru semakin remang dan menjadi pekat ketika cahaya itu
mendatangiku. Hidup menjadi tidak lengkap tanpa bayangan; atau pengalaman yang
paling dasar adalah tahu bahwa aku berbayang dan melihat sendiri bayanganku.
Tanpa kutahu bayanganku sendiri dan melihat bayangan anonim di kaca etalase
restoran mewah, aku hanya akan mengaburkan bayanganku sendiri, bayangan yang
membuat hatiku berdenyut, pikirku berjalan dan mataku terjaga. Bayangan itu
hidup dalam diriku, tetapi aku bukan bayanganku –karena kegelisahan dalam
bertanya akan adanya hidup hanya jika aku belum jelas melihat di manakah adanya
bayanganku. Dia akan selalu mengikutiku, tetapi seharusnya tidak akan pernah
mendahului gerakku dan tidak akan pernah menguasaiku. Maka, “
Hai bayangan,
tetaplah engkau ada di belakangku, mendorong dan memberikanku tenaga untuk
berlindung dari gelapnya malam yang selalu mengajakku untuk berbagi kehangatan
tanpa kasih. Engkau ada karena engkaulah pengalamanku yang paling esensial yang
kurasakan detik ini“–ketika kulihat orang yang duduk di depanku masih tetap
ada di kursinya.
|
[footage.shutterstock.com] |
Salemba-Jakarta
Minggu, 16 Mei 2004
airdara
0 Response to "Kegelisahan"
Posting Komentar