Doa Skolastik Jesuit

Doa Skolastik Jesuit


Kukatupkan kedua kelopak mataku
ketika kudengar lantunan ayat-ayat suci
dari corong-corong mushola,
yang berkoar-koar seperti sirine ambulans pembawa korban kecelakaan,
mengundang perhatian banyak orang
untuk segera bergegas memberi jalan lewat
pada satu nyawa yang sedang bergulat dengan kerapuhan manusiawinya;
menyongsong keabadian,
memanggil-manggil kebesaran nama Allah.
Seruan kepada Sang Hyang Widi semakin terasa menusuk,
masuk ke dalam pori-pori jiwa,
pelan tetapi pasti, membisikkan serangkaian bunyi yang indah:
“Allahu akbar…..Allahu akbar… Allahu akbar…...”.
Bisikan itu seakan menyeruak masuk ke dalam ruang,
yang tak kenal jung pangkalnya,
seperti waktu yang semena-mena merobek sejarah,
membakar kalender,
dan melayang bebas dalam semesta kehidupan.
Suasanapun terasa: Dhedhep-tidhem-premanem
datan hana sbawaning walang salissik.
[sunyi, sabar, sepi, diam, tenang, hening, tenteram.
Tanpa gerak.Tanpa suara. Tidak ada lagi bunyi belalang menggosokkan sayap-sayapnya.
Tidak ada lagi desir suara.]

 “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”,
tak kusadari tiba-tiba salam itu meluncur dari mulutku yang masih terkunci rapat,
menyapa seseorang yang duduk tepat di depan penglihatan batinku,
yang tersenyum ramah kepadaku.
Sahabat, secara khusus, sengaja kukenangkan dikau,
yang telah lama mendahului kami,
berangkat menempuh perjalananmu panjang
menuju suatu tempat yang kauyakini
sebagai istana yang telah dipersiapkan bagi kami semua.
Memang, engkau telah tiada,
tetapi semangatmu masih segar dalam ingatan kami.

Ngomong-ngomong, gimana keadaanmu sekarang?
Semoga engkau dan sobat-sobat yang lain
berada dalam keadaan yang tak kurang suatu apa.
Aku ingin mengajakmu berjalan-jalan
sembari mendulang pernik-pernik pengalaman peziarahanmu.
Sahabat, bantulah kami untuk semakin melihat
bahwa tugas perutusan kami adalah belajar;
seperti waktu engkau pergi ke Paris
untuk belajar Bahasa Latin bersama anak-anak.
Biarlah semangat belajarmu juga menyala
dalam diri kami yang masih muda ini.
Meskipun beberapa dari kami kadang dianggap sudah uzur,
dan menghadapi tantangan yang bertubi-tubi,
jangan biarkan kami infeel [ilang feeling].
Tanamkanlah dalam diri kami: cinta akan ilmu dan kebijaksanaan
supaya kami tidak lagi hanya melihat kebenaran dalam diri kami sendiri.
Bukalah cakrawala pandang kami
agar semakin luas dan dapat menjadi bekal perutusan selanjutnya.

Sahabat, bantulah juga para formator kami untuk semakin melihat
bahwa tugas perutusan mereka adalah membekali kami
dengan kharisma-kharisma dalam Serikat.
Seperti waktu engkau mendampingi sahabat-sahabat pertama,
biarlah semangat dan cita-rasa hidupmu semakin berkobar
dalam diri para formator kami.
Meskipun selalu ada gesekan di sana-sini,
dan menghadapi seribu satu kesulitan,
jangan biarkan mereka larut di dalamnya.
Taburkanlah benih-benih kebijaksanaan dan cinta kasih
dalam diri mereka,
supaya pendampingan mereka,
dapat sungguh-sungguh kami rasakan
sebagai sapaan darimu sendiri kepada kami
yang masih harus banyak belajar ini.

Sahabat, bantulah kami untuk merasuk ke dalam realitas kehidupan ibukota
dimana kami hidup.
Begitu banyak tawaran dan kesempatan bagi kami untuk berkembang.
Ada segudang kekayaan pengalaman yang dapat kami bongkar.
Ada segunung mutiara kehidupan yang dapat kami gali.
Bantulah kami membongkar, menggali dan mendalami
kekayaan ibukota ini dengan keteladananmu.
Mintalah kepada Allahmu dan juga Allahku,
Bapamu dan Bapaku,
Sahabatmu dan Sahabatku,
untuk mendidik kami,
sebagaimana yang engkau rasakan
ketika engkau memulai peziarahan rohanimu.
Biarlah Dia mendidik kami seperti guru kepada muridNya,
sebagai Guru dan Sahabat yang sejati;
menghibur di kala segala sesuatu terasa suram,
memberikan cahaya di kala pandangan mulai gelap,
menunjukkan jalan ketika menemui percabangan,
menuntun di kala asa tidak mau melangkah,
menggendong di kala kaki mulai terasa sakit,
dan tetap setia ketika kami mulai tidak setia.
Biarlah dunia ini menjadi wahana kami
untuk semakin menemukan kehadiranNya;
dan semakin merasai hembusan nafas kasihNya.

Sahabat, bantulah kami agar semakin dapat melihat
bahwa komunitas dimana kami hidup
adalah anugerah Allah yang harus kami bangun bersama.
Biarlah kami meniru sikapmu yang meneladan sikap Gurumu, yaitu:
bagaimana engkau bersikap kepada Xaverius,
bagaimana engkau menyapa Faber,
bagaimana engkau memperlakukan Laynez
ketika dia berlaku kurang pantas sebagai anggota tubuh Serikat,
bagaimana engkau menerima dan merangkul Bobadillia
dengan kasihmu yang tulus,
dan menjadi sahabat dalam Tuhan bagi semua
yang bergabung ke dalam kelompokmu.
Rasukilah kami dengan semangat yang sama
dalam usaha membangun komunitas apostolik
yang engkau idam-idamkan dalam diri para penerusmu.
Bantulah kami agar maju dan berkembang bersama
dalam kasih akan perutusan yang kami emban.

Sahabat, aku juga mengenangkan sahabat-sahabat yang lain.
Semoga, para novis mampu untuk mencecap dalam-dalam
pengalaman Manresamu dalam perjalanan formasi mereka.
Semoga, sahabat-sahabat yang berkarya di bidang penegakan keadilan dan perdamaian
dapat menimba inspirasi dari pengalamanmu bergaul
dengan orang-orang yang kautemui di hospital,
pengemis yang kautemui di setiap perjalananmu,
yang kepadanya engkau berkenan memberikan diri
dalam perjumpaan dan perjuangan hidup mereka.
Semoga, sahabat-sahabat yang berkarya di bidang pendidikan
dapat menimba pengalamanmu bergulat dengan kebutuhan studi
bagi magisnya kerasulan yang kauemban.
Semoga, sahabat-sahabat yang memangku gubernatio dalam Serikat
dapat menimba sikap hidupmu sebagai seorang pemimpin dalam Serikat,
berkobar-kobar dalam melayani sahabat-sahabat yang kaupimpin.
Semoga, sahabat-sahabat yang berkarya di paroki
kaubantu dalam mendampingi umat yang diserahkan
menjadi domba gembalaan mereka.
Semoga, sahabat-sahabat yang mengemban karya misi,
menggarap kebun anggur Tuhan di tempat-tempat yang potensial,
dapat merasakan kebahagiaan merintis sesuatu yang baru,
sebagaimana engkau mengutus sahabat-sahabatmu pergi ke tempat-tempat
yang lebih membutuhkan uluran tangan kasih Allah.
Semoga, semangatmu selalu menjadi inspirasi bagi kami semua,
dan menggerakkan kaum muda untuk memberanikan diri
ikut bergabung dalam Serikat ini.
Juga, bagi sahabat-sahabat yang sudah memasuki masa istirahatnya,
semoga jejak-jejak karyanya dapat menjadi inspirasi bagi kami
yang masih muda dan masih harus banyak belajar ini.
Biarlah litani harapan ini menjadi awal bagi kami
untuk bersyukur bahwa kami mempunyai seorang sahabat
yang dapat menjadi contoh untuk menjawab panggilan Sang Raja Abadi.

Dan, sekarang,
sudilah engkau membawa semua permohonanku ini
ke hadirat Gurumu yang juga menjadi Guru Sejatiku.
Biarlah permohonan ini membumbung tinggi
ke hadirat Sang Khalik,
seperti asap dupa yang melayang bebas ke angkasa,
menebarkan keharuman yang tulus,
dan membawa teriakan minta tolong seorang bocah kemarin sore.
Tolong sampaikan salam hangatku pada sahabat-sahabat
yang sudah ada bersamamu,
Mohonkan restu dan penyertaan bagi setiap usaha kami.
Itulah doaku untuk saat ini,
sungguh-sungguh untuk saat ini.

Tiba-tiba, pendengaranku seakan dipaksa
untuk menyimak refren mazmur yang didaraskan
oleh seorang ustat tua di mushola samping rumah.
Suara itu begitu akrab di telingaku,
dan terus bergema tak kenal lelah:
“Sekarang, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Aku pun tersenyum setelah berulang kali mendengar pendarasan itu,
Ketika kusadari bahwa aku sudah berpamitan
Dengan seseorang yang tadi sempat mendengarkan keluh kesahku.
“Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Aku berbisik pelan, ketika kulihat gambar wajah di depanku
Masih tetap tersenyum ramah kepadaku.

 Salut, Pere Inigo Lopez de Loyola!
[ignatiansolidarity.net]

Salemba Bluntas, Jakarta Pusat
31 Juli 2004
airdara

0 Response to "Doa Skolastik Jesuit"

Poems • ReflectionsStoriesCrumbsContact
free hit counters